Oleh: Romi Abrori (Ketua Pengurus Koperasi Benih Kita Indonesia)
Saya terkesima pada keanekaragaman tanaman pangan. Misal padi, diperkirakan lebih dari 5000 macam padi lokal di seluruh Indonesia. Begitu juga jagung, ada yang merah, putih, kuning, biru, ungu hingga hitam. Kita punya beraneka rupa dan warna ubi-ubian. Mulai dari ubi jalar, singkong, uwi, talas, dengan keunikan dan keragaman masing masing yang luar biasa. Itulah salah satu bentuk keanekaragaman tanaman pangan kita.
Tetapi sekarang di sawah-ladang sedang terjadi kepunahan massal keanekaragaman tanaman pangan. Dulu kakek nenek kita menanam lebih dari 2 macam padi, lebih dari 5 jenis kacang, dan lebih dari 5 jenis sayur, belum lagi buah. Hari ini secara serentak pindah ke monokultur, menanam hanya 1 jenis tanaman. Ditambah lagi, benih yang dipakai dalam monokultur ini diperoleh dengan membeli di toko, bukan berasal dari tanamannya sendiri. Dulu moyang kita menggunakan benih dari generasi sebelumnya, sekarang benih warisan itu sudah banyak hilang.
Saya akan menceritakan salah satu contoh keanekaragaman dan kepunahan massal. Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu Origin Centre (pusat dari asalnya) buah mangga (Mangifera spp.) karena di Indonesia terdapat banyak kerabat mangga liar yang tumbuh di hutan-hutan, ada juga varian dan varietas mangga lokal dengan aneka rupa baik rasa, warna, bentuk, di desa-desa. Diceritakan oleh salah satu pegiat benih di Situbondo, dulu di daerahnya banyak dijumpai “Pao Laseng“ (mangga pesing), yaitu pohon mangga lokal yang biasa dijumpai di Situbondo dan Sumenep. Berbatang tegak, lurus dengan cabang pertama jauh dari tanah, buah berbau pesing sehingga banyak yang tidak suka. Maka lalu pohon mangga ini ditebang, sampai akhirnya sekarang mangga pesing sudah hilang. Punah. Begitu juga dengan Mangga Nanas asal Probolinggo. Wangi khas nanas, berserat, kulit ungu-merah dan kuning. Sekarang Mangga Nanas juga sudah hilang, punah, tak lagi tersedia di muka bumi.
Bisa saja lalu kita berpikir, tak apalah hilang punah, toh tidak disukai. Apa perlunya kita menyelamatkan tanaman-tanaman yang tidak disukai atau kita anggap tidak memiliki sifat baik? Mengapa kita tidak menyelamatkan yang paling baik saja? Apa pentingnya menyelamatkan benih varietas yang “tidak unggul”? Lebih baik kita berkonsentrasi pada “bibit unggul” untuk kita tanam, agar mendapatkan hasil “terbaik”.
Pertanyaannya sekarang, dari mana sesungguhnya kita bisa mendapatkan “bibit unggul” ini? Bibit unggul didapat dari mengawin-silangkan beberapa sifat-sifat yang dianggap baik dari benih-benih yang ada. Maka, yang harus kita pahami pertama adalah: tidak ada “varietas terbaik”. Misalnya, sebuah varietas padi yang hari ini dianggap terbaik, belum tentu baik saat esok hari, ketika kondisi alam berubah. Varietas terbaik hari ini, esok mungkin akan habis dimakan hama, karena tidak memiliki kemampuan beradaptasi terhadap hama tersebut. Sebaliknya, bisa jadi sebuah varietas yang dianggap “tidak baik” hari ini seperti “Pao Laseng” itu misalnya, ternyata memiliki satu sifat unik berupa ketahanan terhadap penyakit atau hama tertentu, atau kekhasan tertentu yang akan kita butuhkan saat iklim berubah, saat kecenderungan pemenuhan kebutuhan pangan berubah. Mungkin satu jenis jagung khas suku Cia Cia di Buton memiliki sifat ketahanan kekeringan yang kuat. Mungkin Padi Laut di Jember memiliki daya adaptasi terhadap salin dan garam tinggi. Maka sebetulnya tidak perlu bagi Pao Laseng, bagi jagung khas Cia cia, Padi Laut untuk menjadi varietas terbaik, dia cukup memiliki satu sifat unik, khas. Dan untuk alasan keunikan di tiap varietas itulah kita harus menyelamatkannya. Mengapa? Sebagai bahan mentah bagi sebuah sifat yang kalaupun belum dibutuhkan saat ini, atau belum diketahui keistimewaannya saat ini, tetapi pasti akan dapat kita pakai di masa depan. Keragaman sifat pada berbagai varietas ini adalah “modal” utama yang memberi kita pilihan-pilihan dalam perkawinan silang untuk menghasilkan sebuah “benih unggul baru”.
Pilihan-pilihan ini semakin kita butuhkan di zaman perubahan iklim seperti sekarang, karena kita tidak tahu secara pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Kita hanya bisa memprediksi misal berdasarkan statistik perubahan iklim 10 tahun terakhir. Kita tak tahu apakah pertanian dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi itu, bagaimana pertanian bisa beradaptasi bila pertanian belum pernah mengalami hal itu. Pasti diperlukan sebanyak mungkin pilihan-pilihan untuk mengupayakan kemampuan adaptasi pada perubahan kondisi yang baru.
Kita tak perlu menunggu sampai 2040 untuk datangnya masalah pangan akibat dari perubahan iklim. Pada 2020, bila terjadi kepunahan banyak varietas lokal, tentu akan sedikit pilihan-pilihan mengupayakan benih unggul tahan iklim. Akibatnya akan terjadi penurunan produksi bahan pangan, karena benih yang ada belum tentu tahan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Pada jagung misalnya, akan terjadi penurunan sampai 30% lebih karena ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang tidak terprediksi itu. Sementara itu pada saat yang sama terjadi kenaikan jumlah populasi. Bila kondisi ini terjadi pula pada bahan-bahan pangan yang lain, yang sudah semakin tidak beragam karena kecenderungan monokultur di seluruh dunia, maka bisa berujung pada terjadinya krisis pangan. Kita akan melihat anak anak kelaparan.
Apakah jangka waktu 20 tahun itu masih lama? Sama sekali tidak. Kurun waktu 20 tahun hanya cukup untuk tiga siklus pemuliaan jagung yang harus kita lakukan dalam upaya kita menemukan hasil benih yang memiliki kemampuan beradaptasi pada perubahan iklim. Untuk ini, kita bergantung sepenuhnya pada keragaman hayati yang berhasil kita cegah dari kepunahan, untuk memberikan alternatif keunikan sumber daya genetika yang diperlukan bagi setiap kondisi unik yang kita hadapi.
Kita menghadapi tantangan untuk memikirkan solusi yang efektif, efisien dan berkelanjutan agar pertanian kita dapat menghadapi berbagai perubahan terutama perubahan iklim. Sebab cukup jelas, bila pertanian tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan kita pun tidak dapat beradaptasi. Kita tidak bisa menyelesaikan banyak permasalahan di masa depan tanpa pangan yang cukup, bahkan termasuk masalah yang berkaitan dengan pangan itu sendiri. Untuk memastikan kita masih terus bisa memiliki pangan yang cukup, kita perlu memastikan pertanian kita bisa beradaptasi dengan berbagai perubahan di masa depan. Dan untuk memastikan itu, kita harus memiliki keragaman tanaman yang cukup.
Walau kepunahan sumber daya genetika di seluruh dunia cenderung mengkhawatirkan, tetapi masih ada harapan karena upaya bersama telah dilakukan untuk mengumpulkan, mengembangkan dan menyimpan banyak keragaman tanaman pangan dan tanaman pertanian di Bank Benih yang kita bangun bersama di daerah-daerah. Semakin banyak Bank Benih semakin ringan tugas kita mengumpulkan dan melestarikan plasma nutfah tanaman pangan kita. Untuk itu kita mengajak kepada semua kalangan, turut mendukung, terlibat aktif dalam membangun Bank Benih di daerah-daerah untuk menyelamatkan benih dan menyediakan benih di daerah masing-masing. Karena kita ingin benih lokal kita, benih liar kita, benih warisan kita, tidak hilang. Karena sekali benih hilang, maka hilang untuk selamanya. Bersama itu hilang pula satu kesempatan menyelamatkan kita semua dari bencana.
Kita perlu terus memperbanyak Bank Benih yang baik di mana-mana di setiap sudut negeri kita. Ini adalah salah satu tujuan dari Gerakan Benih Lokal Berdaulat, sambil juga mendorong dan mendukung agar pemuliaan benih berlangsung dengan baik pula dari waktu ke waktu. Sementara lahirnya Koperasi Benih Kita Indonesia atau KOBETA, merupakan upaya agar kekayaan tak ternilai harganya ini menjadi milik bersama, tidak dikuasai oleh segelintir orang saja. Gerakan maupun Koperasi didedikasikan untuk tujuan-tujuan ini: menyelamatkan keragaman hayati, dan membangun kedaulatan petani, kedaulatan pertanian serta kedaulatan pangan di masa depan.
Pekerjaan kita masih panjang dan banyak. Kita masih perlu mengumpulkan benih tanaman pangan yang masih ada di luar sana, kita perlu membuat katalog. Kita perlu menjaga dengan baik kekayaan sumber daya genetik kita, keragaman hayati kita. Pada khususnya tanaman pangan, gagasan sederhana yang bisa kita lakukan bersama misalnya adalah melestarikan padi, jagung, ubi, singkong, uwi dan tanaman pangan lain, yang mulai kurang populer, dengan cara mengkonsumsinya, menanamnya, mempromosikannya secara luas. Dengan terus secara sadar mempertahankan keragaman pangan kita, menyelamatkan benih-benih warisan alam, pada akhirnya akan menyelamatkan kita dan negara kita sendiri, bahkan menyelamatkan dunia.
—abcd—