Harapan di Tengah Generasi Petani yang Makin Kritis

[aioseo_breadcrumbs]

oleh Tommy Apriando [Yogyakarta] di 26 August 2018

Lulus dari Fakultas Perikanan, Universitas Mulawarman,  tak membuat Taufik Iskandar, tertarik bekerja menjadi karyawan swasta atau pegawai negeri. Dia memilih bertani di lahan warisan keluarga di Desa Santan Hilir, Kecamatan Muarangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Kala saya mengunjungi kampung dan lahan milik Taufik, dia baru saja gagal panen. Tanaman cabai siap panen rusak karena banjir besar setinggi satu meter.

Dia bilang,  banjir karena hutan lindung hulu Sungai Santan rusak oleh pertambangan batubara.

Kampung Taufik,  berdekatan dengan pertambangan dan pembangkit listrik batubara. Sungai yang dulu bersih, kini kotor dan tercemar limbah pertambangan. Pilihan Taufik bertani agar lahan tak terjual kepada perusahaan tambang.

Menurut Taufik, bertani merupakan warisan leluhur. Dia bisa lulus kuliah dengan biaya hasil tani.

“Jika semua keluarga memilih ke kota, lahan akan terjual dan berganti tambang. Kami melawan tambang lewat bertani,” katanya.

Dia tidak sendiri selaku petani muda di kampung itu. Bersama rekan-rekan, dia mempersiapkan koperasi tani dan menjalankan rumah belajar bagi warga kampung. Tujuannya,  ada transformasi pengetahuan terbagi merata.

Dia tak kapok walau beberapa kali panen gagal terkena banjir. Ia jadikan pembelajaran dan mencari mitigasi pencegahan.

“Saya akan bangun kampung dan kembalikan kejayaan Santan dari tanaman kelapa dan hasil pertanian lain,” katanya.

Di Probolinggo, Jawa Timur, Romi Abrori,  memilih memuliakan benih-benih lokal pertanian di seluruh penjuru negeri. Menurut Abrori, bisa berakibat fatal pada ketahanan negara bila ketergantungan petani pada benih hibrida produksi korporasi besar.

“Jika petani tak berdaulat benih, ini ancaman nyata bagi kedaulatan negara dan bangsa,” katanya.

Petani, katanya,  harus didukung mengembangkan benih asli lokal hingga tak tergantung hibrida korporasi yang harus beli tiap akan menanam.

Ketergantungan petani pada benih hibrida korporasi, katany,  awal dari pemiskinan petani. Secara kelembagaan, kata Abrori, pemerintah lumayan dalam pelestarian benih lokal.

Persoalannya,  masalah kedaulatan benih di Indonesia, setidaknya ada dua penyebab. Pertama, kriminalisasi petani pakai benih sendiri. Kedua, ruang terbuka sebesar-besarnya kepada korporasi benih sebagai penyedia benih subsidi yang dibagikan ke petani.

“Dua hal ini menunjukkan pemerintah tak mau atau pura-pura tak tahu kemandirian benih salah satu pilar strategis bagi kedaulatan dan kesejahteraan petani,” katanya. 

Khusus benih lokal sebagai kekayaan hayati,  katanya, pemerintah mengelola sebatas romantisme kolektor semata. Ia jadi barang eksotis yang dibanggakan di atas presentasi pertemuan, kala menjaga dan mengembangkan kekayaan plasma nutfah itu, masih jauh dari ideal. “Jika pemerintah tak mendorong benih lokal, petani akan makin jauh dari sejahtera dan mewujudkan kedaulatan pangan,”

Ketergantungan petani pada benih korporasi melalui skema subsidi benih sangat berbahaya. Skema ini, kata Taufik, sesungguhnya berisiko krisis pangan. Alasannya, pertama, Ketergantungan, katanya,  mengikis kemampuan petani memuliakan benih mandiri. Belum lagi skema subsidi benih kerap kali dibarengi regulasi justru mengkriminalisasi petani pemulia benih.

Kedua, ketergantungan benih korporasi menyebabkan kepunahan masif heirloom seed atau benih asli turun temurun.

“Padahal benih asli turun temurun merupakan bahan dasar menghasilkan benih-benih unggul dan adaptif. Kondisi ini, dalam keadaan perubahan iklim, dapat memastikan kita akan menghadapi krisis pangan.”

Saat ini, dia sudah membentuk lebih 35 bank benih lokal di berbagai daerah. Dia akan terus melakukan pemuliaan benih bersama rekan-rekan muda yang tergabung Gerakan Benih Lokal Berdaulat.

Cita-citanya sederhana. Negeri ini berdaulat pangan melalui benih-benih warisan leluhur petani di berbagai wilayah nusantara.

Taufik dan Abrori,  hanya sedikit anak sarjana muda yang memilih bertani. Generasi muda yang lain, malah memilih menghindar atau enggan ke sektor pertanian.

Haryono, Ketua Komisi Teknis Pangan dan Pertanian, Dewan Riset Nasional, Universitas Gajah Mada, mengatakan, petani makin ditinggalkan generasi muda karena hasil dari bertani dianggap tak lagi menguntungkan. Harga beras yang diberlakukan pemerintah melalui program harga pangan murah dirasakan merugikan para petani.

Perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi, katanya,  sudah berdampak pada perubahan pemanfaatan teknologi dalam proses pendidikan. Apalagi,  mahasiswa saat ini generasi post milenial.

“Peran dosen diharapkan lebih sebagai fasilitator bukan lagi sumber ilmu karena mahasiswa sudah sangat dekat dengan dunia digital,” katanya.

Produk makanan dan minuman dari sektor pertanian jadi kebutuhan yang terus meningkat, namun produk layak konsumsi harus melalui tahapan riset dan inovasi yang berkualitas.

Dia menyarankan, saatnya petani diperhatikan dengan meningkatkan nilai harga pangan yang bisa meningkatkan kesejahteraan. Juga memberi akses pada petani mengelola lahan lebih luas seperti dilakukan pemerintah pada pengusaha dalam mengelola hutan untuk perkebunan sawit.

Agus Nurudin, Managing Director of The Nielsen Company Indonesia, mengatakan, penduduk Indonesia mencapai 260 juta hingga kebutuhan pangan terus meningkat.

Setiap tahun, perlu minimal 33 juta ton beras, 16 juta ton jagung, dan 2,2 juta ton kedelai dengan 75% masih impor, 2,8 juta ton gula dan 484.000 ton daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Soal pasokan beras, ketergantungan impor makin besar karena produksi nasional tak mampu mencukupi kebutuhan konsumen. Sedang pekerjaan petani makin ditinggalkan karena dianggap tak menguntungkan.

Berdasarkan riset Lembaga Nielsen Company, pertumbuhan pertanian Indonesia terus mengalami penurunan dibanding pertumbuhan produk domestik bruto. Penurunan pertumbuhan pertanian ini, katanya, karena pemerintah dari setiap periode tak memiliki komitmen kuat pada sektor pertanian.

 

Peran penting generasi muda

Kaum muda berperan penting dalam mendorong pertanian dan konsumsi pangan berkelanjutan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, mengenai kelompok umur pemuda 15-24 tahun ada 42 juta (16,5).  Jumlah penduduk muda ini diperkirakan terus bertambah hingga 2030 capai 26%, di perkotaan dan 23% pedesaan. Jumlah kaum muda ini potensial jadi pendorong produk pangan.

Maria Lauranti, Koordinator program Oxfam Indonesia kepada Mongabay mengatakan, upaya mendorong kaum muda memproduksi pangan jadi sangat penting karena fakta populasi petani di pedesaan terus menurun.

Regenerasi petani muda di desa pun sangat lambat karena faktor urbanisasi anak muda pedesaan yang lebih tertarik mencari kerja di kota.

Jumlah petani berkurang terekam dalam Sensus Pertanian (SP) 2013. Sekitar lima juta rumah tangga pedesaan berhenti bertani. Populasi petani sebagian besar, 60% berusia 45 tahun dengan mayoritas 73% berpendidikan sekolah dasar.

Dia bilang, penting mendorong regenerasi petani dengan dukungan banyak pihak termasuk kaum muda di perkotaan.

“Sedikit anak muda bekerja di sektor pertanian karena menilai potensi ekonomi kurang menjanjikan. Kunci kedaulatan pangan selain ketersediaan lahan, juga regenerasi petani,” kata Maria.

 

Harapan dan peluang

Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) kepada Mongabay mengatakan, salah satu upaya regenerasi petani dapat juga terjadi dengan keterlibatan kaum muda kota dalam kegiatan bertani.

Kaum muda yang jadi petani pun mulai tumbuh. Dalam kajian KRKP tahun 2018, menemukan, keterlibatan kaum muda kota 89,5% dengan responden campuran laki-laki dan perempuan memandang pertanian sangat penting untuk kelanjutan produksi pangan dan menghindari kelaparan.

“Pandangan ini tak didukung kondisi ideal agar anak muda dapat aktif terlibat dalam produksi pangan,” katanya.

Dalam kajian KRKP, kaum muda kota,  51% melihat kebijakan pemerintah belum prioritas sektor pertanian. Tampak dalam kajian terdapat keinginan kaum muda kota terlibat dalam produksi pangan di pedesaan.

Perhatian kaum muda kota yang tinggi, katanya, bisa jadi modal penting pertanian ke depan hingga upaya kedaulatan pangan terwujud. “Kami perlu mendorong sinergi antara kaum muda kota dan desa jadi produsen pangan.”

Temuan lain dalam kajian KRKP, katanya, kaum muda kota juga menganggap penting hak atas pangan sehat terpenuhi dan ketersediaan perlu peningkatan.

Hasil kajian KRKP menunjukkan,  sekitar 63% pemuda di perkotaan menganggap penting pangan sehat dan melihat pangan lokal lebih bergizi dan sehat.

Temuan ini, katanya, jadi peluang bagi kaum muda petani pedesaan memenuhi permintaan konsumen di perkotaan hingga mendapatkan nilai tambah dan peningkatan penghasilan.

Hal ini, katanya, penting karena masih mahal harga pangan organik yang masuk kategori pangan harga premium hingga tak mampu diserap pasar lebih luas.

Inovasi wirausahawan muda sebagai pelaku rantai nilai pertanian, katanya,  dapat memungkinkan pengembangan produk-produk pertanian lebih terjangkau di kota dan desa.

“Perlu ada gebrakan yang diharapkan mendorong pembentukan ekosistem usaha pertanian bagi anak muda karena mereka dapat berperan sebagai salah satu sumber pangan bagi lingkungan sekitarnya,” kata Said.

Sementara Maula Paramitha, Country Network Facilitator AgriProFocus Indonesia mengatakan, pentingnya terjadi hubungan baik antara kaum muda di desa dan kota serta inovasi-inovasi baru pertanian.

AgriProFokus dan jaringan bergerak dan berinisiatif mempromosikan pertanian dengan kaum muda kota dan desa sebagai penggerak dan petani.

“Pemilihan Duta Petani Muda jadi upaya menginspirasi orang muda berani terjun ke bidang tani dengan menempatkan kaum muda petani sukses dan inovatif sebagai model bagi yang lain,” katanya.


Sumber:

https://www.mongabay.co.id/2018/08/26/harapan-di-tengah-generasi-petani-yang-makin-kritis/ 

Bantuan Hubungi WA +62 82 112 544 655