oleh Tommy Apriando, Yogyakarta di 29 November 2017
Namanya Romi Abrori. Dia tak letih berupaya petani di negeri ini punya kemandirian benih lokal. Saat ini, dia didampuk jadi Koordinator Nasional Forum Benih Lokal Berdaulat (BLB). Sayangnya, hingga kini, pemerintah Indonesia masih kurang mendukung petani memuliakan dan memproduksi sendiri benih unggul mereka.
Kondisi ini, katanya, bisa berakibat fatal pada ketahanan negara karena ketergantungan petani pada benih hibrida produksi korporasi besar.
“Jika petani tak berdaulat benih, ini ancaman nyata bagi kedaulatan negara dan bangsa,” katanya, awal November kepada Mongabay.
Data mencatat, dari kebutuhan benih padi nasional 300.000-an ton, 40% suplai dua BUMN yaitu PT. Sang Hyang Sri (Persero) dan PT. Pertani (Persero). Adapun 60% dari pasar bebas.
Seharusnya, kata Romi, petani boleh bahkan didukung mengembangkan benih asli (lokal) hingga tak tergantung hibrida korporasi yang harus beli tiap mau menanam.
Ketergantungan petani pada benih hibrida korporasi, katanya, awal dari pemiskinan petani. Balai pemuliaan benih seperti Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian di perguruan tinggi, katanya, bisa kemudian memberikan penelitian kepada petani, untuk dikembangkan.
“Benih unggul tidak seharusnya dikuasai dan jadi komoditas dagang korporasi,” katanya, seraya bilang sejalan dengan program 1.000 desa mandiri benih.
Secara kelembagaan, katanya, pemerintah sudah lumayan dalam pelestarian benih lokal. Ada Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP) namun hanya lembaga, hasil kerja jauh dari harapan.
“Sektor peneliti benih lokal, kita diserbu peneliti asing. Ini juga ancaman. Pemerintah Indonesia kurang mendukung petani memuliakan dan memproduksi sendiri benih unggulnya.”
Dewi Hutabarat dari Sinergi Indonesia mengatakan, persoalan kedaulatan benih di Indonesia, setidaknya ada dua penyebab. Pertama, kriminalisasi petani yang pakai benih sendiri. Kedua, ruang terbuka sebesar-besarnyanya kepada korporasi benih sebagai penyedia benih subsidi yang dibagikan ke petani seluruh Indonesia.
“Dua hal ini menunjukkan pemerintah tak mau atau pura-puta tak tahu kemandirian benih salah satu pilar strategis bagi kedaulatan dan kesejahteraan petani,” katanya.
Khusus benih lokal sebagai kekayaan hayati, katanya, pemerintah mengelola sebatas romantisme kolektor semata. Ia jadi barang eksotis yang dibanggakan di atas presentasi pertemuan, kala menjaga dan mengembangkan kekayaan plasma nutfah itu, masih jauh dari ideal.
Informasi tentang plasma nutfah sudah banyak sekali didata oleh peneliti luar. Sementara kita secara sistematis melakukan proses penyeragaman tanaman yang masif.
“Jika pemerintah tak mendorong benih lokal, petani akan makin jauh dari sejahtera dan mewujudkan kedaulatan pangan,” kata Dewi.
Chendi Tofa Kristanto, Ketua BPTP Jawa Timur mengatakan, kerentanan kedaulatan petani atas benih, ketergantungan benih hibrida, antara lain penyebab makin mundur kualitas kehidupan petani di Indonesia.
“Perhatian pemerintah luput. Balai penelitian benih memang didirikan, tetapi hasil penelitian tidak diserahkan kepada petani hingga mereka dapat menguasai hulu rantai pasok produksi.”
Kekayaan benih lokal cukup berlimpah dimiliki turun-temurun di berbagai komunitas di negeri ini. Kekayaan benih itu, katanya, bahkan adaptif terhadap iklim dan ekologi setempat yang tidak ada pada benih hibrida.
Secara terpisah, Mastur, Pakar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian mengatakan, sumberdaya genetik Indonesia nomer dua di dunia.
Kekayaan benih asli (heirloom seed) ini, katanya, sangat strategis dalam menjamin kemampuan warga memproduksi tanaman baik untuk pangan maupun non pangan.
Ada jenis plasma nutfah hasil tak tinggi tetapi tahan iklim. “Gennya bisa kita silang untuk bisa produksi tinggi. Benih varietas bagus penting untuk didaftarkan.”
Pemerintah, katanya, harus memastikan kekayaan benih ini dapat berkembang untuk kesejahteraan dan kemandirian petani.
Peran perempuan
Sementara Nuraidah, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Sumbawa menyuarakan kekhawatiran terhadap kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
“Ketahanan pangan hanya dilihat sebatas peningkatan produksi yang berorientasi agribisnis, padahal petani perempuan di Sumbawa adalah produsen pangan kecil,” katanya.
Dia bilang, penetapan Nusa Tenggara Barat sebagai lumbung pangan nasional fokus di Sumbawa, Bima dan Dompu, bertujuan menciptakan ketahanan pangan dalam negeri.
Sayangnya di Sumbawa, katanya, berbagai program dan kebijakan guna mendukung keberhasilan program itu justru membuat perempuan makin tak berdaulat dan terpinggirkan dalam mengelola sumber- sumber alam mereka.
Dalam penyusunan perencanaan program maupun gagasan, misal, perempuan tak dilibatkan. Perempuan, katanya, hanya terlibat dalam pelaksanaan.
Pemerintah, katanya, juga masih jadikan program penyeragaman benih jagung, padi dan kedelai (pajale) hibrida bersamaan dengan pupuk kimia untuk petani.
“Dampak program ini terhadap perempuan adalah perempuan petani tak bisa menentukan benih apa yang akan ditanam.”
Petani, katanya, juga dipaksa pakai pupuk kimia yang tak bisa produksi sendiri dan tak ramah lingkungan. Benih lokal yang dimiliki petani turun-temurun pun mulai hilang.
Kehadiran pupuk kimia dan benih hibrida, katanya, menyebabkan perubahan kebiasaan petani mengelola lahan dan pertanian arif secara turun temurun. “Petani jadi tergantung pupuk kimia dan benih hibrida yang justru membuat tanah mulai keras dan tidak subur.”
Belum lagi, pengawasan pemerintah lemah terhadap harga produk hingga tak sepadan dengan biaya produksi. Petani rugi lagi.
Sumber:
https://www.mongabay.co.id/2017/11/29/seharusnya-pemerintah-muliakan-benih-lokal/