Koperasi KOBETA, dan Kita

[aioseo_breadcrumbs]

Koperasi KOBETA lahir dari “perkawinan” banyak mimpi dari banyak orang, yang “diwakili” oleh sejumlah aktivis lintas usia, dari millenial sampai super-senior puluhan tahun sudah berjibaku di tengah masyarakat, lintas bidang, dan lintas propinsi. Benang merah aneka mimpi yang dipersatukan dalam Koperasi KOBETA adalah: ingin mewujudkan model ekonomi yang lebih berkeadilan. Turunan mimpi yang lebih spesifik lagi adalah: kedaulatan pangan, pembelaan pada ekonomi rakyat kecil, perbaikan nasib para petani, nelayan, dan produsen2 mikro kecil. Turunannya yang lebiiih spesifik lagi adalah: kedaulatan benih, penyelamatan benih2 lokal yang dengan cepat punah dari tangan rakyat sampai ke ujung2 pulau terpencil, membuat ketergantungan petani dan penanam pada umumnya begitu nyaris total pada produsen benih tanaman pabrikan (yang mandul dan harus selalu beli tiap hendak menanam).

Bukan cuma soal tergantung dan secara ekonomi mahal, tetapi ketergantungan pada benih pabrikan menyebabkan masyarakat kehilangan akses dari keragaman hayati yang menjadi sumber “bahan baku” untuk membuat benih2 unggul dari waktu ke waktu. Kita tahu, benih2 unggul tanaman itu ada “masa berlaku”nya. Dalam jarak waktu tertentu “keunggulannya” tak lagi cocok dan tak berlaku lagi. Harus selalu ada pembaruan. Sehingga bila masyarakat tidak punya akses pada “bahan baku” benih2 lokal, pembaruan benih unggul makin sulit dilakukan oleh masyarakat. Ketergantungan makin total pada proses pembenihan di pabrik.

Proses pembenihan di pabrik2 juga menimbulkan efek dahsyat yang lain: tergerusnya proses alami biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Padahal inilah proses yang dihadiahi oleh alam semesta bumi ini pada manusia, untuk selalu berkelimpahan “bahan baku”. Pabrik, sebesar apapun, tentu tidak akan mampu menduplikasi proses alami keanekaragaman hayati ciptaan Maha Pencipta. Dan kondisi perbenihan kita, terutama pangan dan hortikultura, tidak makin baik, tapi makin cepat dan masif kerusakannya. Sudah darurat, walau terjadinya diam-diam seperti udara beracun yang kita hirup pelan2. Tanpa kita sungguh2 sadari.

Koperasi KOBETA, lahir dari “rahim” sekian banyak keresahan. Setelah ditelusuri beberapa waktu, termasuk dalam perjalanan menuju tahun ke 4 (tahun ke 2 berbadan hukum), Koperasi KOBETA merespon aktif 2 “bencana alam” yaitu gempa Lombok dan pandemi Covid-19, mengerucutlah hari ini dalam wujud 2 unit usaha. Pertama BenihBeta, kedua PasarBeta.

BenihBeta merespon kedaruratan kondisi perbenihan seperti di atas. Sedangkan PasarBeta merespon kedaruratan berupa dikuasainya jalur distribusi pemasaran oleh produk2 pabrikan besar. Nyaris tidak ada jalur distribusi pemasaran yang menghubungkan antara “jaringan pasar rakyat” berupa warung/toko rakyat dengan produsen2 rakyat. Padahal bila bisa dikonsolidasi, maka mestinya jaringan pasar rakyat bisa dipenuhi dengan produk2 hasil produsen mikro kecil. Termasuk hasil petani, nelayan, produsen aneka produk kebutuhan rakyat.

Kedaruratan ketiga adalah: “model ekonomi yang lebih berkeadilan” itu yang kayak apa? Pertama, yang mengurangi konsentrasi kepemilikan di tangan si segelintir orang itu-itu saja. Kita tahu, ketimpangan ekonomi kita sudah nyaris tidak bisa dikendalikan lagi. Kekuasaan segelintir orang ini sudah meluas jauh ke setiap sendi urat hidup rakyat se Indonesia.

Untuk kedaruratan ketiga inilah, bentuk model lembaga usaha KOPERASI menjadi signifikan. Pembeda sejak niatnya sampai wujud operasionalisasi keseharian usahanya.

Tantangannya: Koperasi KOBETA harus rela melakukan 3 terobosan besar sekaligus. Terobosan bisnis-sosial di bidang perbenihan (lokal). Terobosan bisnis-sosial di bidang perintisan jalur distribusi “dari rakyat untuk rakyat”. Dan terobosan model lembaga usaha KOPERASI yang tidak pernah mudah karena melibatkan banyak orang sebagai “pemilik bersama” dan “investasi bersama”.

Koperasi KOBETA baru saja menuntaskan RAT (Rapat Anggota Tahunan, “rapat pemilik saham”nya koperasi) yang kedua setelah berbadan hukum. RAT pertama dilaksanakan hanya beberapa bulan setelah proses badan hukum yang memakan waktu hampir 2 tahun. RAT kedua beberapa waktu lalu, buku tahun 2020 ditutup dengan “laba minus”, alias keuntungan kotor-nya masih belum cukup skalanya untuk bisa menutup ongkos operasional usahanya. Masih perlu mendorong partisipasi anggotanya untuk bisa memenuhi target modal sehingga bisa mengejar kenaikan omzet usaha.

Ini hal biasa dalam proses bisnis. Apalagi proses dari bisnis yang niatnya adalah memperbaiki keadaan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup.

Selamat, Warga KOBETA, untuk kebersamaan kita sampai hari ini.

Mari kita lanjutkan perjalanan ini. Masih baru mulai, dan masih panjang perjuangannya.

(Dewi Hutabarat)

Sumber:

https://web.facebook.com/koperasibeta/posts/1129950177508828?__tn__=K-R 

Bantuan Hubungi WA +62 82 112 544 655