(Dewi Hutabarat)
Ada cukup banyak orang yang mengatakan mereka sering, amat sering, kecewa ketika beli apokat. Baik belinya di toko besar, kios pinggir jalan, online2, sering kecewa. Bukan hanya apokat, buah2 lain pun.
Di postingan kapan itu saya pernah obrolin ya soal yg terjadi di hulu, di pohon2 asal muasal si buah, hampir semua (jangan2 beneran semua) dipanennya dengan sistem tebas. Sehingga sebagian besar buah dipanen belum waktunya. Masuk pasar ya pasti pada akhirnya sebagian besar buah itu rusak.
Siapa yang rugi?
Seluruh yang ada di rantai pasok itu rugi, tapi yang paling rugi adalah rantai dagang terakhir (retailer) dan pembeli akhir (end user). Dan yang jelas, kondisi perbuahan kita gak akan nyampe kemana2. Produsen buah yang mikro kecil ya di situ2 aja. Ekonomi segitu2nya.
Bisa gak dibenahi?
Ya jelas BISA BANGET.
Gimana caranya? Ya buah kalau mau bagus diurusnya sejak sebelum “lahir”. Pohonnya dirawat, sejak bunga sampai buahnya tua dirawat, manennya dipilih yg tua saja, pasca panennya dan proses distribusi beres dan hati2.
Tapi buah yang dirawat bagus itu perlu pengetahuan, biaya, waktu, tenaga. Nanti kalo pekebun atau yg punya pohon sudah lakukan, ada yang mau beli dengan harga sepadan gak? Pengepulnya mau ga? Kalau sudah dirawat susah2 akhirnya ditebas juga dengan harga murah, ya apa gunanya merawat? Begitulah sikon di pekebun.
Pengepul bisa dan mau gak beli dengan harga sepadan sesuai beban kerja pekebun merawat buah dan panen selektif hanya yg tua? Susah, apalagi kalau pengepul modalnya juga terbatas, sudah pula ngasih hutangan ini itu ke pekebunnya, maka pengepul hanya bisa bergerak dengan mekanisme sesederhana mungkin: tebas, harga murah. Hutang pekebun dipotong dari harga murah tebasan.
Lapisan pedagang2 setelah pengepul sampai ke konsumen akhir harus MEMBAYAR 60% – 70% kerugian dari buah yg rusak, melalui harga buah yg dibayarnya. Makanya buah kita semurah apapun itu, sebetulnya MAHAL.
Sayangnya, pemerintah dan lembaga2 keuangan kita masih melihat rantai pasok sebagai sektor2 yang terpisah. Kredit diberikan pada petani/pekebun nya saja, atau pada pengusaha pengepulnya saja, dan seterusnya. Padahal “perbaikan” harusnya dilakukan dalam kesatuan “rantai pasok” yang saling menguatkan, tiap rantai saling mengurangi risiko rantai yang lain. Dengan sendirinya minimal pula risiko keuangannya. Dan di ujungnya nanti, harga menjadi “wajar” karena yang didapat adalah buah yang bagus kualitasnya, risiko rusaknya minimal, sehingga harga akhir yang dibayar betul2 untuk seluruh kerja menghadirkan buah yang BAIK dan bukannya untuk menutup rugi dari buah yang RUSAK.
Jadi pilihannya sekarang tinggal ke pengusaha2 yang agak2 punya modal, SADAR dan MAU memperbaiki rantai pasok inilah yang bisa bergerak. Mau menginvestasikan modal í(biaya, waktu, tenaga, pikiran) untuk memperbaiki pola hubungan fungsi dan transaksi antar pihak2 di dalam rantai.
Kalau pengusaha raksasa modal gak berseri sih sudah mereka kerjakan sendiri mekanisme kayak gini. Tapi untuk pengusaha2 kecil dan seantero pekebun2 mikro kecil, ya tidak ada jalan lain kecuali berjejaring, membangun kekompakan (alias modal sosial), untuk bisa bergerak bersama, konsolidasi.
Foto2 di bawah ini buah2 apokat yg rusak sebagai RISIKO yang harus ditanggung ketika beli buah lokal. Harga buah jadi mahal karena musti bisa menutup kerugian akibat sekian banyak buah rusak.
Foto terakhir adalah diskusi baru2 ini Koperasi KOBETA yang mulai serius berupaya di pembenahan rantai pasok apokat dan beberapa buah lain, dengan jagoan2+pejuang per-durian-an Indonesia, termasuk founder Durian Traveler mas Sigit, dan bos Durian Kampung Heri Kristanto.
Kita berharap makin banyak pengusaha yang bisa dan mau mewujudkan rantai pasok yang lebih berkelanjutan dan lebih berkeadilan. Artinya: pekebun sejahtera, pohonnya dan lingkungannya terjaga, pedagang2nya sejahtera, konsumennya tyada lagi kecewa.
Dan kita pun bisa jadi RAJA BUAH DUNIA yang sebenar2nya.