13 September 2021
(Dewi Hutabarat)
Kita ambil contoh apokat. Apokat2 #badibabadibu diambil dari petani/pekebun dengan 2 kriteria khusus. Pertama, rasa buah matangnya sudah diuji diincip, sehingga diketahui keunggulan rasanya. Kedua, khusus petik tua selektif. Petik tua = 80% – 95% kematangan.
Jadi, kesepakatan dengan petani/pekebunnya: dengan kriteria itu kita mau ambil dengan harga beberapa kali lipat dibanding bila dengan sistem tebas.
Kita tahu pada umumnya buah2an dipanen dengan sistem tebas. Pada usia sekitar 3-4 bulan (50% kematangan) semua buah di pohon ditebas, dibeli borongan dengan harga relatif murah, kadang muraaahh banget.
Nanti buah2 hasil tebas ini oleh pengepul akan disortir: yang “superan” (ukuran besar, warna kinclong), yang udah lumayan tua, dan yang masih muda2. Yang “superan” dan apalagi lumayan tua, dijual ke pasar retail agak mahalan, yang muda2 masuk ke pasar lebih murahan.
Perhitungan lucu2annya adalah bahwa sistem tebas menyediakan di pasar setidaknya 50% – 70% apokat yang belum layak dipanen, sehingga ketika dibeli oleh konsumen pasti akan berujung pada kekecewaan. Selebihnya 30%-50% apokat yang lumayan, sudah cukup tua, sehingga bisa masuk ke pasar retail yang agak tinggi harganya dibanding yang murah-meriah-kecewa.
Mengapa petik tua menjadi kriteria utama?
Karena apokat petik tua menjamin apokat akan matang rata, gurih dan “mentega”-nya maksimal. Keunikan rasa dari tiap2 apokat akan muncul optimal. Kita susah kecewa walaupun yang kita rasakan “jenis” apokat yang aneka rupa. Malah asiiik, karena jadi punya macam2 pengalaman rasa.
Badiba Badibu bekerjasama dengan Koperasi KOBETA yang berhubungan dengan kawan2 yang berhubungan langsung dengan petani/pekebun, atau dengan petani/pekebunnya langsung, untuk memastikan 2 kriteria tadi dipenuhi.
Keseluruhan proses di atas berimplikasi pada dua hal. Pertama, harga jual ke konsumen menjadi relatif lebih tinggi dibanding yang dijual di toko online maupun offline pada umumnya. Kedua, ada JAMINAN terhadap kualitas apokat yang diterima.
Apakah apokat Badiba Badibu gak pernah jelek? Ya pernahlah, ketika mitra kawan atau petani/pekebun kerjanya kurang amanah. Akibatnya apa? Setelah diketahui satu “angkatan” apokat ternyata jelek, maka semua yang kadung beli dan dikirimi apokat itu dikontak, dan DIGANTI dengan “angkatan” yang baru dan dijamin bagus.
(Dan apa boleh buat si mitra tersebut diskors kerjasamanya).
Kerjasama model begini dengan petani/pekebun akan membuat petani/pekebun bisa dan mau belajar memenuhi standard petik tua selektif itu. Sebab jerih payah mereka menjaga itu apokat di pohon supaya bisa sampai tua, petiknya bertahap, akan DIJAMIN DIBELI dengan nilai sepadan kerjanya.
Kalau makin BANYAK yang mau beli apokat yang dari kerjasama model begini maka makin lama skalanya makin besar, harga jual akhir bisa makin efisien.
Nah akhirnya nanti kondisi pasar berbalik: 90% apokat di pasar adalah dengan kualitas bagus, harga terjangkau. Petani/pekebun tau bagaimana merawat dg baik dan efisien, dibelinya juga harga wajar, memberi keuntungan. Harga jual akhir juga akan mencapai titik imbangnya yang terjangkau konsumen, sambil memutar roda ekonomi yang lebih adil.
Ngimpi tapi sambil diupayakan biar mewujud dong yakan…
Foto asli semua (apokat sendiri, diiris sendiri, dipotret sendiri) dari 4 jenis APOKAT LOKAL INDONESIA dengan keistimewaannya masing2, aduhai Indonesia kaya rayaaaa tiada taraaa dengan keragaman buahnya.
https://web.facebook.com/dewi.hutabarat/posts/10223825651142027